Haruskah ada pembatasan penjualan senjata pemerintah ke negara-negara yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia?

PBB mendefinisikan pelanggaran hak asasi manusia sebagai perampasan nyawa; penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat; perbudakan dan kerja paksa; penangkapan atau penahanan sewenang-wenang; campur tangan sewenang-wenang terhadap privasi; propaganda perang; diskriminasi; dan advokasi kebencian ras atau agama. Pada tahun 1997, Kongres AS mengesahkan “Undang-undang Leahy” yang menghentikan bantuan keamanan kepada unit-unit militer asing tertentu jika Pentagon dan Departemen Luar Negeri menetapkan suatu negara telah melakukan pelanggaran berat terhadap…   hak asasi manusia, seperti menembak warga sipil atau mengeksekusi tahanan. Bantuan akan dihentikan sampai negara yang bersalah membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan. Pada tahun 2022, Jerman merevisi peraturannya mengenai ekspor senjata untuk “mempermudah mempersenjatai negara demokrasi seperti Ukraina” dan “mempersulit penjualan senjata kepada negara autokrasi.” Pedoman baru ini berfokus pada tindakan nyata negara penerima dalam kebijakan dalam dan luar negeri, bukan pada pertanyaan yang lebih luas apakah senjata-senjata tersebut dapat digunakan untuk melanggar hak asasi manusia. Agnieszka Brugger, wakil ketua parlemen dari Partai Hijau, yang mengendalikan Perekonomian dan Kementerian Luar Negeri dalam koalisi pemerintah mengatakan hal ini akan menyebabkan negara-negara yang menganut “nilai-nilai Barat yang damai” akan diperlakukan tidak terlalu ketat.